Senin, 23 April 2012

BAB I Makalah Kepemimpinan Pancasila

BAB I
PENDAHULUAN


Studi tentang kepemimpinan sudah sangat tua dan melahirkan begitu banyak teori, mulai dari the great men theory yang menganggap bahwa pemimpin itu dilahirkan, kemudian dilanjutkan dengan teori sifat yang mencoba menidentifikasi kepemimpinan berdasarkan sifat-sifat yang melekat pada pemimpin yang berhasil, kemudian lahir teori prilaku yang menganalisis kepemimpinan yang berhasil itu ditentukan oleh prilaku-prilaku tertentu, dan teori kontingensi yang menganalisis bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada situasi dan kondisi dimana kepemimpinan itu dijalankan. Inilah garis besar teori kepemimpinan yang berkembang selama ini.
Namun, pada tataran teori ini tidak satupun teori yang bisa menjelaskan konsep teori apa yang cocok untuk situasi kondisi yang ada di indonesia sebagaimana yang dijelaskan oleh teori situasional atau kontingensi. Ada suatu konsep yang dikemukankan dari teori lokal yang berdasarkan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu pancasila.
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia, dimana pola hidup masyarakatnya selalu berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada pancasila. Namun apa yang terjadi, masih banyak dari masyarakat kita yang bisa dan mau mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya. Begitu juga dengan para pemimpin kita, kita lihat dari puncak teratas kepemimpinan negeri kita yaitu presiden-presiden kita.
Kita mulai dari presiden kita pertama yaitu Sukarno. Sukarno adalah pencetus dan salah satu the founding father bangsa ini. Pancasila juga terlahir dari konsep para founding father bangsa ini, namun jika kita lihat dari kepemimpinan Sukarno bahwa Sukarno lebih menonjolkan kharismatiknya, tak sedikit orang yang meragukan Sukarno, namun apakah Sukarno sudah menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinannya. Sukarno jika kita lihat dari sejarahnya juga tidak menerapkan seluruhnya dari nilai-nilai pancasila, hal ini terbukti dengan keinginannya untuk menjadi presiden seumur hidup, hal ini sangat bertentangan dengan nilai dari sila ke-4 yaitu dengan nilai-nilai demokrasinya. Begitu juga dengan paham komunisme yang menurut sejarah dianut oleh Sukarno, hal ini bertentang dengan prinsip keadilan yang dijelaskan dalam konsep kepemimpinan yang berkeadilan yang berarti menempatkan sesuatu pada porsinya bukan sama rata dan sama rasa. 
Kepemimpinan pancasila yang unsur-unsur nilainya memiliki nilai universal, namun, realitanya para pemimpin bangsa ini dalam memimpin tidak sepenuhnya memperlihatkan atau menginternalisasikan nilai-nilai pancasila ke dalam sikap dan tingkah lakunya untuk memimpin masyarakatnya maupun bawahannya.

A.      Konsep Kepemimpinan Di Indonesia
Kondisi lingkungan kehidupan bangsa kita pada dekade-dekade awal abad 21 sebagaimana bangsa lain diberbagai belahan dunia, menghadapi gelombang besar berupa meningkatnya tuntutan Demokratisasi, Desentralisasi, dan Globalisasi.
Demokratisasi memang mengandung makna kebebasan dan optimalitas pelaksanaan hak-hak asasi manusia tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, ideologi, maupun domisili. Domokrasi didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berkeadilan serta keputusan pada keputusan bersama yang diambil secara obyektif, rasional, dan kemanusiaan. Namun yang berkembang bukan “kerja sama yang rasional dan manusiawi” melainkan konflik atau disintegrasi yang seakan tidak mencerminkan pemahaman akan nilai-nilai peradaban demokrasiyang luhur.
Desentralisasi sebagai perwujudan nyata pelaksanaan otonomi. Sebab dengan adanya hak, kewajiban, dan wewenang mengurusi rumah tangga daerah oleh daerah, maka jarak berbagai pelayanan publik dan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan bertambah dekat.
Liberalisasi perekonomian yang menandai gelombang Globalisasi sejak dekade ahir abad 20, serta krisis dimensi yang melanda kehidupan bangsa Indonesia, bukannya menuntut peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan, tetapi juga kemampuan dalam mengelola kebijakan publik secara arif dan efektif kearah pemulihan perekonomian, integrasi nasional, serta peningkatan ketahanan daya saing perekonomian bangsa.
Bangsa kita terasa masih tenggelam dalam permasalahan yang timbul sebagai akibatkesalahan mendasar yang dibuatnya sendiri, khususnya pada para pemimpin. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah tersebutdiperlukan suatu dasar pendekatan bersama dan kualifikasi segenap unsur SDM utamanya unsur pemimpin dalam berbagai lembaga pemerintahan dan masyarakat.
Pada dasarnya kepemimpinan di Indonesia adalah kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai pancasila (Kepemimpinan Pancasila).
v  Kepemimpinan menurut Pak Harto
Mantan presiden Soeharto menjelaskan tentang asas kepemimpinan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan). Delapan laku tersebut antara lain:
Ø Lir Surya (matahari)
Dengan lambang ini diharapkan seorang pemimpin dapat berfungsi seperti matahari bagi yang dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Ø Lir Candra (bulan)
Dengan lambang ini seorang pemimpin hadaknya berfungsi sebagai bulan, yakni membuat senang bagi anggotanya dan memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, Sang pemimpin mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari kesulitan.
Ø Lir Kartika (bintang)
Bintang adalah sebagai pedoman bagi pelaut atau pengarung samudra. Dengan lambang ini pemimpin handaknya berteguh iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga menjadi pedoman dan panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.
Ø Lir Samirana (angin)
Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer” bergaul dengan rakyat lapisan manapun, guna mencari masukan untuk menetapakan kebijakan dan keputusan.

Ø Lir Mega mendung (awan hujan)
Mendung memberi kesan menakutkan, tapi apabila hujan turun akan bermanfaat bagi bumi. Dengan lambang ini, pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan dan kebijakan yang diambilnya hemdaknya bermanfaat bagi yang dipimpinnya.
Ø Lir Dahana (api)
Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin tegas dan keras seperti api dalam menegakkan disiplin dan keadilan.
Ø Lir Samudra (laut atau samudra)
Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin berwawasan luas, sanggup menerima dan mendengar persoalan, menyeringnya dan membuat suasana menjadi jernih kembali tanpa ada rasa dendam.
Ø Lir Bantala (bumi)
Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin tidak hanya mau berada diatas, tetapi juga bersedia dibawah. Sang pemimpin seolah-olah menjadi tempat pijakan, sentosa budinya, jujur dan murah hati bagi anak buahnya.

v  Konsep Kepemimpinan Pancasila
1)        Menurut BP-7 Pusat
Berikut disampaikan suatu pemikiran mengenai kepemimpinan yang selanjutnya diterapkan di Indonesia:
Ø Seorang pemimpin di Indonesia hendaknya memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila
Ø Seorang pemimpin di Indonesia adalah seorang yang mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan kemajuan zaman
Ø Seorang pemimpin hendaknya berwibawa, yakni timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya, bukan karena katakutan, tetapi karena kesadaran dan kerelaan
Ø Seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin benar-benar bersifat “ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”.


2)        Menurut Kartini Kartono
Kartini Kartono menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kepemimpinan, yaitu:
Ø Kepemimpinan di Era pembangunan Nasioanal harus bersumber pada falsafah negara, yakni pancasila
Ø Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai
Ø Diharapkan agar Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisasi.

3)        Manurut Ary Murty
Menurut Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepamimpinan yang berasas, berjiwa, dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya Nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan universal.
Adapun nilai-nilai budaya Nusantara meliputi keterjalinan hidup manusia dengan tuhannya, keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan alam, kerukunan dan mempertemukan cita-cita hidup di dunia dan akhirat.
Nilai-nilai kemajuan universal meliputi pendayagunaan Sains dan Teknologi secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa disegala aspek kehidupan.

4)        Menurut Wahjosumidjo
Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila.
Kepemimpinan Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila mencapai untuk tujuan nasional.
Kepemimpinan Pancasila adalah suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan indonesia, sehingga dalam kapemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
Jadi, ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
Ø Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
Ø Nilai-nilai kepemimpinan universal
Ø Nilai-nilai spiritual nenek moyang.
Dalam rangka menjalankan tugas kewajibannya seorang pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Lebih-lebih dalam kemerdekaan dan pembangunan. Berhasilnya pembangunan nasional tergantung peran aktif rakyat Indonesia, dengan sikap mental, tekad semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Dengan demikian perlu dikembangkan motivasi membangun dikalangan masyarakat luas dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinannya. Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus merupakan sistem nilai yang harus dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya para pemimpin.
Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan yang selalu menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Berikut disampaikan suatu pemikiran mengenai kepemimpinan yang selanjutnya diterapkan di Indonesia:
Seorang pemimpin di Indonesia hendaknya memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila
1.        Seorang pemimpin di Indonesia adalah seorang yang mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan kemajuan zaman
2.        Seorang pemimpin hendaknya berwibawa, yakni timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya, bukan karena katakutan, tetapi karena kesadaran dan kerelaan
3.        Seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin benar-benar bersifat “ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani” Menurut Kartini Kartono menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kepemimpinan, yaitu:
-            Kepemimpinan di Era pembangunan Nasioanal harus bersumber pada falsafah negara, yakni pancasila
-            Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai
-            Diharapkan agar Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisasi.

B.       Sistem Kepemimpinan Nasional
Menurut Prof. Dr. Mustopadidjaja, bahwa Kepemimpinan Nasional diartikan sebagai Sistem Kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, meliputi berbagai unsur dan srtuktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan Pemerintahan negara dan masyarakat, yang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa sesuai dengan posisi masing-masing dalam Pemerintahan dan masyarakat, mernurut niali-nilai kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan konstitusi negara
Secara struktural, Kepemimpinan Nasional terdiri dari pejabat lembaga-lembaga pemerintahan negara dan pemimpin lembaga-lembaga yang berkembang dalam masyarakat, yang secara fungsional berperan dan berkewajiban memimpin orang dan lembaga yang dipimpinnya dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Menurut Anwar Ibarahim, bahwa kepemimpinan haruslah peka dan prihatin terhadap suara dan aspirasi rakyat serta merumuskan cara pendekatan yang melibatkan rakyat. Beliau menekankan pada konsep Syura’ (musyawarah) dan demokrasi penyetaraan.
Pemimpin Naisonal adalah sosok yang mampu memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan dan menghayati nilai-nilai yang berlaku, agar mempunyai kemampuan memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia dan mempunyai visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.


BAB II
KEPEMIMPINAN PANCASILA


A.      Pendekatan
Tanggal 1 Juni, biasa mengacu pada peristiwa sejarah saat Soekarno berpidato dalam rapat pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945. Adalah benar, bahwa pada saat tanggal 1 Juni 1945 itu Soekarno mengusulkan nama dasar negara kita dengan nama Pancasila. Sebuah nama yang menurut Soekarno diperoleh dari seorang teman yang ahli bahasa, tanpa menyebut siapakah nama teman tersebut.Namun, Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno saat itu, adalah cukup berbeda dengan Pancasila yang kita kenal saat ini. Perbedaan itu, terutama dalam hal susunan redaksi, sistematika , atau urutan sila-silanya. Perhatikan, Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno saat itu :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme - atau Perikemanusiaan
3. Mufakat - atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Tentu, cukup berbeda dengan naskah resmi Pancasila yang kita kenal pada saat ini, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Naskah resmi Pancasila ini baru disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Indonesia merdeka melalui rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), bersamaan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara.Tanggal 1 Juni 1945 pun bukan pertama kali sebuah gagasan mengenai lima dasar negara diungkapkan. Tanggal 29 Mei 1945 pada rapat BPUPKI pula, dua hari sebelum Soekarno berpidato, Muh. Yamin pun telah mengusulkan gagasan mengenai lima dasar negara dalam pidatonya, meski tanpa menyebut secara eksplisit mengenai usulan nama Pancasila.

B.       Pengertian
Menurut Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepamimpinan yang berasas, berjiwa, dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur yang berakar pada budaya Nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan universal. Adapun nilai-nilai budaya Nusantara meliputi keterjalinan hidup manusia dengan tuhannya, keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan alam, kerukunan dan mempertemukan cita-cita hidup di dunia dan akhirat. Nilai-nilai kemajuan universal meliputi pendayagunaan Sains dan Teknologi secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa disegala aspek kehidupan.
Menurut Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila.
Kepemimpinan Pancasila, satu potensi atau kekuatan yang mampu memberdayakan segala daya sumber masyarakat dan lingkungan yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila mencapai untuk tujuan nasional.
Kepemimpinan Pancasila adalah suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan kepemimpinan indonesia, sehingga dalam kapemimpinan pancasila menonjolkan dua unsur, yaitu “Rasionalitas” dan “semangat kekeluargaan”.
Agar mampu melaksanakan tugas kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Dia harus memiliki kelebihan-kelebihan tertentu bila dibanding dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan ini terutama meliputi segi teknis, moral, dan semangat juangnya. Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.        sehat jasmaninya, dengan energi yang berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2.        memiliki integritas kepribadian, sehingga dia matang, dewasa, bertanggung jawab, dan susila.
3.        rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya.\
4.        memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi situasi dan kondisi dengan cermat, efisien-efektif, memiliki kemampuan persuasi, dan mampu memberikan motivasi yang baik kepada bawahan.
5.        mampu menilai dan membedakan aspek yang positif dari yang negative dari setiap pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang paling efisien untuk bertindak.
Selanjutnya, di alam kemerdekaan dan pembangunan sekarang, berhasilnya pembangunan nasional sangat bergantung pada ikut sertanya seluruh rakyat Indonesia yang memiliki sikap mental, tekad, semangat, ketaatan dan disiplin nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Untuk hal ini perlu dibangkitkan motivasi membangun di kalangan masyarakat luas, dan motivasi pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinan (local, regional maupun nasional). Sebab dengan keteladanan yang utama- atas dasar pengorbanan dan pengabdian pada kepentingan rakyat banyak, maka segenap rakyat kecil akan rela berperan serta dalam usaha pembangunan. Dengan demikian, dalam era pembangunan sekarang diperlukan tipe kepemimpinan penggugah/stimulator dinamisator untuk menggairahkan semangat pembangunan di segala bidang kehidupan.
Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh kepemimpinan pembangunan dan para pejabat pada aparatur pemerintah, yaitu :
a.         Kepemimpinan dalam era pembangunan nasional harus bersumber pada falsafah negara, yaitu pancasila.
b.        Memahami benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Khususnya menyadari makna pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan fisik, demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan riil dari rakyat, serta peningkatan kehidupan bangsa atas asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, demokrasi, serta prinsip adil dan adil.
c.         Diharapkan kepemimpinan pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai tradisional kuno yang tinggi peninggalan para leluhur dan nenek moyang kita, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif dari modernisme, dalam kepemimpinan Indonesia.
Untuk lebih memahami ketiga hal tersebut di atas, marilah kita renungkan pemikiran Dr. Ruslan Abdulgani mengenai moral pancasila dalam kaitannya dengan kepemimpinan nasional antara sebagai berikut :
1.        yang dimaksud dengan pancasila adalah pancasila yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, berupa kesatuan bulat dan utuh dari kelima sila, yaitu ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.        Nilai-nilai tersebut harus dihayati, yaitu diresapi serta diendapkan dalam hati dan kalbu, sehingga memunculkan sikap dan tingkah laku yang utama/terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kemudian diterapkan/diramalkan dengan kesungguhan hati dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang menyadari sedalam-dalamnya pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sumber kejiwaan masyarakat, (sekaligus menjadi dasar negara Republik Indonesia) untuk hidup rukun damai bersama-sama.
3.        Pancasila dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Kebebasan beragama itu bukan pemberian negara dan bukan pula pemberian golongan, akan tetapi merupakan anugerah Ilahi.
Pancasila juga dapat dipakai sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima sila dari pancasila secara ringkas adalah sebagai berikut :
1.      Ketuhanan yang maha esa
orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan yang maha Esa dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Jadi ada sikap hormat menghormati dan kerukunan hidup beragama dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan.\
2.      Kemanusiaan yang adil dn beradab
tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa salira, mencintai sesama ,anusia. Tanpa ada diskriminasi, dan sama hak serta kewajiban asasi pelaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati, mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
3.      Persatuan Indonesia
cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, menempa patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam musywarah/perwakilan
bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan, juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati nuraniluhur.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat, dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan. Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin.
Selanjutnya, kepemimpinan pancasila ialah bentuk kepemimpinan yang selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai luhur dari norma-norma pancasila, semangat kepemimpinan Pancasila itu dapat terwujudkan, apabila nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang dapat dipadukan dengan nilai-nilai modernisasi yang positif, antara lain dengan ciri-ciri demokratis, rasional, kritis, efisien-efektif dan berdisiplin tinggi.

Kepemimpinan Pancasila dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang dijiwai Pancasila, disemangati azas kekeluargaan,  memancarkan wibawa serta menumbuhkan daya mampu untuk membawa serta masyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan moderen, kepemimpinan Pancasila perlu memiliki ciri-ciri tentang sifat kepemimpinan modern. Di antara sifat-sifat kepemimpinan modern adalah sebagai berikut:
a.         Berorientasi jauh ke depan;
Dalam menentukan kebijaksanaan dan memecahkan persoalan, masa yang akan akan datang selalu diperhitungkan. Karena kita bukan hidup untuk masa lampau, tetapi hidup untuk menyongsong masa yang akan datang.
b.        Berlandaskan pola pikir ilmiah;
Dalam mengambil keputusan mengikuti penentuan masalah/ problem, penentuan data/informasi yang diperlukan, pengumpulan data dan informasi, analisis data, penarikan simpulan. Dengan demikian, dihindari pengambilan keputusan yang didasarkan pada emosi atau intuisi semata-mata ataupun situasi senang dan tidak senang.
c.         Berpegang pada prinsip efesien dan efektif;
Menentukan cara yang perlu diambil dalam menyelesaikan suatu kegiatan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, biaya, sarana dan tenaga yang minimal tetapi tercapai hasil yang maksimal. Cara ini perlu dipadukan dengan nilai atau azas Pancasila sehingga tercapai keselarasan,  keserasian dan keseimbangan.
.
C.      Pemimipin Yang Berjiwa Pancasila
Bagi suatu organisasi apapun, baik itu Negara, Partai Politik, LSM, Ormawa, OKP, dll yang ingin memperoleh kemajuan dalam bidang usahanya, maka kepemimpinan yang baik mutlak dibutuhkan bagi organisasi itu terutama keahlian dalam bidang tersebut, Dalam suatu organisasi dalam mencapai tujuannya, maka seorang pemimpin harus dapat mengelola dan mengarahkan elemen-elemen yang ada secara baik dan teratur. Seorang pemimpin harus dapat menciptakan suatu kerjasama yang harmonis di antara pimpinan dan bawahan. Arti Kepemimpinan Pancasila adalah Kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Keyakinan pemimpin pancasila :
1. Semangat Nasionalisme
2. Semangat Kekeluargaan
3. Semangat Gotong Royong
4. Pembangunan Isi Kemerdekaan
5. Pembangunan Falsafah Negara Pancasila
6. Pembangunan Amalan Pancasila
7. Pembangunan Fungsi Manajemen
8. Pembangunan Memadu Budaya Tradisi dan Modernisasi
9. Pembangunan Berazas Persatuan, Kebersamaan, Kesatuan

Melihat perilaku pemimpin bangsa kita sekarang yang bercokol di Jakarta, tentunya kita masih bersikap bijak dengan tidak menyalahkan rakyat pemilihnya, dan tentunya kita juga tidak layak mempermasalahkan ungkapan vox populi, vox dei, suara rakyat, suara Tuhan. Kerena ini menyangkut pesan moral bagi pemimpin yang masih merasa beriman untuk memperhatikan rakyat, terlepas dari rakyat pemilihnya yang memang juga tidak bermoral, tapi ini tentunya menjadi tanggung jawab pemimpin yang masih saja mengklaim ia di pilih rakyat, ia mewakili suara rakyat, suara Tuhan yang tentunya tidak diskriminasi.
Pemimpin kita selalu mengklaim diri seorang Pancasilais sejati, namun selalu menunjukan ironi, ketika dipertanyakan nilai-nilai Pancasila yang dianutnya, ia lebih menunjukan diri sebagai perwujudan paham nasionalisme sempit, atau suatu ketidakperdulian dengan pembenaran di sisi lain. Dia meniadakan sila-sila Pancasila, apa lagi Bhineka Tunggal Ika yang kita anut. Dia hanya menunjuk diri, kuasa egonya agar diketahui dirinya orang besar yang mempunyai modal untuk menguasai dunia, dimana Pancasila yang sesungguhnya hanya sebuah inspirasi untuk dijadikan alatnya agar dapat di pakai dalam masa kepemimpinannya yang sifatnya sementara ini untuk menindas. Ia hanya menjadikan Pancasila untuk meningkatkan kapitalnya tanpa perduli terhadap yang lain, rakyat pemilihnya.
Melihat hal ini, rakyat tentunya tahu bahwa pemimpinnya bukan pemimpin Pancasila, dan senjata untuk melawannya tidaklah kuat jika hanya dengan seeokor Kerbau. Rakyat tentunya masih berpikir untuk melawan pemimpin yang memperalat mereka, dan masih terus berharap mempunyai pemimpin yang berpihak pada mereka.
Bila kita sejenak merujuk pada referensi sejarah, Pidato Bung Karno 1 Juni tentang Lahirnya Pancasila memberi kita pencerahan bahwa kita mendirikan negara semua untuk semua dimana tidak ada klaim kultural maupun stempel identitas tertentu di atas blanko republik ini. Dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat 3 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas tercantum “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum”. Sementara Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai luhurnya sudah lama ada di sanubari tiap-tiap rakyat Indonesia. Kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa di negeri ini.
Rujukan ideologis, kultural dan konstitusional memberi kita makna bahwa Indonesia punya cita-cita kolektif dimana semua golongan bisa hidup berdampingan dengan berlandaskan pada norma-norma hukum dimana sumber rujukanya adalah Pancasila. Pembangkangan terhadap hukum dengan dalih menjaga ketertiban umum adalah sikap pengecut. Selama bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa kerdil, jangan pernah berharap bangsa ini bisa besar. Demokrasi yang bersendi Pancasila harus dijalankan dengan hubungan mayoritas dan minoritas yang berimbang (majority rule, minority rights). Dalam hal ini berwujud kebijakan publik yang berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi pepesan kosong bagi rakyat yang lapar rasa adil dan haus rasa nyaman.
Pemimpin Indonesia harus menjadi “Pancasila Hidup” atau “Pancasila Berjalan” Tanggal 1 Juni 1945 merupakan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam menentukan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja lahir. Kukuhnya Pancasila sebagia dasar NKRI kenyataannya memang banyak mengorbankan nyawa sesama bangsa sendiri. Ini membuktikan bahwa Pancasila adalah hasil kerja keras para pemimpin bangsa dalam menghadapi kondisi pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam unsur, baik suku bangsa, adat istiadat maupun agama yang berbeda-beda. Nilai-nilai universalitas Pancasila makin tampak ketika menghadapi pluralitas masyarakat Indonesia ketimbang harus mengadopsi kelompok agama tertentu.
Yang paling ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila hanya sebagai hiasan dinding yang tak memiliki makna. Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala aspek kehidupan berkebangsaan tak lagi menyentuh moralitas bangsa dan memengaruhi mentalitas para pemimpin bangsa.
Dengan demikian, yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam sanubari para pemimpin kita. Simbol-simbol burung Garuda yang dipajang di setiap kantor pemerintahan seolah tak memiiki pengaruh apa-apa bagi aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para pejabat tingi ada burung Garuda yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan tanpa merasa berdosa mereka berani manandatangani “perjanjian” korupsi yang jumlahnya miliaran rupiah. Di lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima sila Pancasila secara lengkap di depan para bawahannya secara jelas dan tegas. Namun, Pancasila kini telah kehilangan eksistensinya sebagai perekat kekuatan moral dan pemersatu bangsa. Yang paling ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila hanya sebagai hiasan dinding yang tak memiliki makna.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala aspek kehidupan berkebangsaan tak lagi menyentuh moralitas bangsa dan memengaruhi mentalitas para pemimpin bangsa. Dengan demikian, yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam sanubari para pemimpin kita. Simbol-simbol burung Garuda yang dipajang di setiap kantor pemerintahan seolah tak memiiki pengaruh apa-apa bagi aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para pejabat tingi ada burung Garuda yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan tanpa merasa berdosa mereka berani manandatangani “perjanjian” korupsi yang jumlahnya miliaran rupiah. Di lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima sila Pancasila secara lengkap di depan para bawahannya secara jelas dan tegas. Namun, Pancasila kini telah kehilangan eksistensinya sebagai perekat kekuatan moral dan pemersatu bangsa.
Tanggal 1 Juni yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila tidak hanya menjadi ajang simbolisasi peringatan yang tak memiliki makna. Kita tidak bisa berdiam diri membiarkan nilai-nilai luhur Pancasila hilang tanpa meninggalkan jejak. Berkaitan dengan itu semua, sebagai bangsa yang menjujung tinggi demokrasi, sudah saatnya kita kini selektif memilih sosok calon pemimpin yang benar-benar memiliki kapabilitas yang cukup mumpuni dan bermoral Pancasila. Seorang pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang selalu memperhatikan nasib rakyatnya sesuai dengan tujuan kesejahteraan dalam sila Pancasila. Seorang pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakatnya. Pemimpin yang Pancasilais harus mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan-kepentingan yang lain. Pemimpin yang Pancasilais adalah pemimpin yang tidak terlalu berambisi mengejar jabatan demi kepentingan pribadi, menanamkan permusuhan dengan lawan-lawan politiknya.
Pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang selalu dengan teguh mengamalkan sila-sila Pancasila dengan sempurna. Ia adalah pemimpin yang memiliki jiwa religiositas sesuai dengan sila pertama Pancasila, selalu menanamkan jiwa-jiwa keadilan dalam setiap aspeknya, bersikap toleran dan terbuka sebagai jalan untuk mempersatukan semua unsur perbedaan yang ada, dan selalu bijak dalam pengambilan keputusannya. Dalam cara pandang sudut agama, Pancasila telah mewakili semua agama yang ada di negeri ini. Sebagai jalan penengah di antara semua unsur perbedaan itu, Pancasila tidak pernah memihak kepada salah satu di antara semua agama yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai moral universal di mana semua agama mengajarkannya.
Seorang agamawan yang baik sudah pasti mengerti filsafat Pancasila menurut pandangan agamanya. Sebab, Pancasila bersifat netral. Pancasila sesuai dengan agama apa pun yang ada di negeri ini karena ia yakin bahwa setiap agama pasti mengajarkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, serta toleransi. Kalaupun ada sekelompok orang yang ingin mengganti Pancasila dengan hukum-hukum agama tertentu, berarti ia kurang bisa membedakan dan memahami antara agama dan substansi ajarannya.
D.      Nilai-Nilai Yang Harus Dijadikan Sumber Pedoman Bagi Seorang Pemimpin
Nilai Moral Pancasila Sebagai Sumber Kepemimpinan :
-          Sila I : - Iman dan taqwa - Saling menghormati - Kebebasan ibadah
-          Sila II : - Hak-hak dan kewajiban Azasi - Toleransi dan kemanusiaan - Kerjasama
-          Sila III : - Patriotisme, Nasionalisme - Persatuan, Kesatuan - Bhinneka Tunggal Ika 4.
-          Sila IV : - Musyawarah, Mufakat - Melaksanakan Putusan
-          Sila V : - Gotong royong, familier, damai.

E.       Azas-Azas Kepemimpinan Pancasila
Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola pikir modern dengan dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai berikut:
1.        Azas Kebersamaan;
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan Pancasila hendaknya:
a.         pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi;
b.         pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin;
c.         pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi;
d.        pemimpin dan yang dipimpin bukan unsur yang saling bertentangan sehingga tak terjadi dualisme;
e.         masing-masing unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dankewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golonganyang paling kuat, tetapi juga tidak menganggap kepentingan seseorangsebagai pusat;
f.          tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin; 

2.        Azas Kekeluargaan dan Kegotong-royongan
Ciri-ciri kekeluargaan dan Kepemimpinan Pancasila, di antaranya:
a.         timbul kerjasama yang akrab;
b.         kesejahteraan dan kebahagiaan bersama yang menjadi titik tumpu;
c.         berlandaskan kasih sayang dan pengorbanan;
3.        Azas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan;
Kita semua sadar akan kebhinekaan Bangsa Indonesia, baik dari segi suku, bangsa, adat istiadat, agama, aliran dan sebagainya. Namun keanekaragaman itu, masing-masing diakui keberadaannya sendiri-sendiri dan ciri-ciri kepribadiannya dalam persatuan dan kesatuan ibarat bunga setamandalam satu jambangan, terdiri dari jenis bunga mawar, melati dan kenangan. Masing-masing tetap dikenal sebagai jenis bunga, tetapi baru akan dinamakan bunga setaman bila ketiga-ketiganya ada dalam jambangan tersebut, sehingga bunga setaman ini merupakan suatu kesatuan. Melati tidak mengharapkan agar mawar dan kenanga berubah menjadi melati semua. Sebaliknya mawar pun tidak akan memaksa melati supaya berubah menjadi mawar. Bila tidak demikian,  maka tidak akan berbentuk bunga setaman.

4.        Azas Selaras, Serasi dan Seimbang;
Semua azas tersebut di atas harus dijiwai dan disemangati oleh azas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, azas yang tidak mencari menangnya sendiri, adu kekuatan, atau timbul kontradiksi, konflik dan pertentangan. Adanya perbedaan keanekaragaman adalah mencerminkan kodrat alam yang masing-masing memiliki tempat. Kedudukan dan kewajiban serta fungsinya sendiri-sendiri. Dengan adanya berbagai warna seperti biru, hijau, merah, kuning, jingga dan sebagainya akan memberikan kesan yang indah apabila tersusun secara tepat. Komposisi warna yang tepat akan menimbulkan suasana indah yang akan menumbuhkan ketentraman batin. Di negara Indonesia, setiap warga negara diharapkan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila. Seorang pemimpin diharapkan menjadi contoh teladan serta panutan orang-orang yang dipimpinnya, mau tidak mau harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan Pancasila. Ia harus melaksanakan butir-butir yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan dengan  nilai-nilai tersebut.

Dikalangan ABRI telah dirumuskan sebelas asas kepemimpinan, yang telah digali dari nilai-nilai kepemimpinan di bumi Indonesia. Semua asas itu dapat diterapkan pada tugas-tugas kepemimpinan pada semua sektor dan eselon, mulai dari guru dan lurah di desa, sampai pada pejabat-pejabat lokal, regional, dan di pusat pemerintahan. Yang paling penting dari kesebelas asas tersebut ialah tiga asas pertama, yang sangat ditonjolkan oleh Ki Hajar Dewantara, dan pada akhirnya dijadikan prinsip utama kepemimpinan Pancasila. Kesebelas asas tersebut ialah :
1)        Ing Ngarsa sung Tulada (di depan memberikan teladan)
Pemimpin yang baik adalah orang yang berani berjalan di depan, untuk menjadi ujung tombak dan tameng/perisai di arena perjuangan, untuk menghadapi rintangan dan bahay-bahaya dalam merintis segala macam usaha. Dengan tekad besar dan keberanian yang membara dia harus sanggup bekerja paling berat, sambil menegakkan disiplin diri sendiri maupun disiplin pengikutnya. Di depan dia menjadi teladan yang baik.
Seorang pemimpin harus menngabdikan diri kepada kepentingan umum dan kepentingan segenap anggota organisasi. Dia bukan hanya pandai memberi perintah saja, akan tetapi juga bijaksana dalam memberikan petunuju-petunjuk, nasihat-nasihat, perlindungan dan pertimbangan. Di depan dia harus benar-benar berani menjadi ”ujung tombak” bagi setiap usaha rintisan dan perjuangan.
2)        Ing Madya Mangun Karsa ( di tengah membangun motivasi dan kemauan)
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau terjun di tengah-tengah anak buahnya, merasa senasib sepenanggungan sanggup menggugah dan membangkitkan gairah serta motivasi kerja, semangat tempur/juang, dan etik kerja yang tinggi. Karena dia ada di tengah-tengah anak buahnya, maka dia selalu tanggap dan mampu berpikir serta bertindak dengan cepat serta tepat, sesuai dengan tuntutan kondisi dan situasinya.
Pemimpin yang sedemikian itu selalu memiliki kesentosaan batin. Dia menghayati kesulitan anak buahnya, dan ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang gawat bersama-sama para pengikutnya. 

3)        Tut Wuri Handayani
Pada saat yang tepat pemimpin juga harus sanggup berdiri di belakang anak buahnya. Hal ini bukan berarti bahwa dengan kecut hati pemimpin ”bersembunyi” di belakang pengikutnya, dan mengekor di balik kekuatan anak buahnya. Akan tetapi harus diartikan sebagai mau memberikan dorongan dan kebebasan, agar bawahannya mau berprakarsa, berani berinisiatif, dan memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dan berkarya dan tidak selalu bergantung pada perintah atasan saja.
Nasihat-nasihat, koreksi, dan petunjuk-petunjuk akan selalu diberikan atas dasar rasa sayang pada anak buah, dan didorong oleh rasa tanggung jawab besar akan keberhasilan usaha yang dilakukan bersama-sama. Dengan demikian, walaupun pemimpin berdiri dibelakang, namun fungsinya memberikan daya kekuatan dan dukungan moril untuk memperkuat setiap langkah dan tindakan bawahannya. Ringkasnya, dibelakang dia mendorong dan memberi pengaruh baik ”yang menguatkan” kepada anak buahnya yang dipimpinnya.
4)        Takwa kepada TYME
 Pemimpin Indonesia dituntut agar memiliki keyakinan beragama, keimanan, dan ketakwaan yang teguh terhadap Tuhan yang Maha Esa. Kesadaran sedemikian menimbulkan pengertian bahwa setiap insan Indonesia mempeunyai kedudukan yang sama tingginya di hadapan Tuhan. Kesadaran tersebut menginsyafkan seorang pemimpin, bahwa dirinya bukan seorang yang maha super, bukan pula sumber kewenangan yang mutlak dalam menentukan permasalahandan kedudukan orang lain, terutama bawahan dan pengikut-pengikutnya.
Kesadaran beragama dan keimanan akan menjadikan orang tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga dia memiliki perasaan kasih sayang, belas kasih terhadap sesama, dan semangat persaudaraan terhadap bawahan yang harus dibimbing dan dikembangkan. Karena itu keimanan kapada Tuhan akan membawa orang untuk selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar, tekun dan rendah hati (tidak sombong).
Kepercayaan kepada Tuhan akan membuat kalbu dan hati menjadi bersih dan suci lahir batin dan membuat pemimpin menjadi hening, heling, dan awas waspada. ”Hening” dalam bahasa Indonesianya berarti diam, teduh, tenang. Dalam hal ini pemimpin diharapkan memiliki batin yang telah mengendap, sehingga dia selalu imbang tenang, tidak pernah gentar, tidak mudah menjadi gugup, khususnya pada saat-saat yang gawat. Dalam menghadapi cobaan hidup dan bahaya yang mengancam jiwapun dia harus tetap tenang dan tidak menjadi panik. Sebab apabila dia menjadi takut dan panik, maka para pengikutnya menjadi kacau, dan organisasi mendapatkan kerugian. ”Heneng” tenang, namun penuh ketabahan menghadapi segala tugas-tugas pekerja, serta harus berupaya mencari jalan keluar dari jalan buntu, dan tidak pernah kehabisan akal menyelesaikan setiap permasalahan yan harus ditangani.
“Hening” artinya bening, bersih, suci, sejati, ceria, jernih, murni. Pemimpin itu harus memiliki keheningan batin, yaitu ketulusan, kelurusan dan keikhlasan. Dia selalu bersikap jujur terhadap diri sendiri dan terhadap para pengikutnya, tanpa memiliki pamrih kecuali mengabdi dan melayani sebagai seorang pemimpin. Dalam keheningan rasa dan ciptanya, dia selalu tekun memikirkan kemajuan organisasi dan kesejahteraan anak buah yang dibina dan dibimbingnya.
“Heling” artinya ingat, sadar, dan insyaf. Yaitu menyadari hakikta alam dengan segala hukum-hukumnya, juga selalu ingat pada perilaku yang luhur, baik dan jujur. Dengan demikian akan terhindar kesulitan, bahaya, kesdihan, kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Ingat pula bahwa keserakahan hati, kemunafikkan dan kejahatan itu selalu akan menyebarkan malapetaka dan kesedihan, baik pada diri sendiri maupun bagi rakyat banyak.
“Awas” artinya dapat melihat. Dapat melihat gejala yang ada di dunia, dengan jalan menguak tabir penyelubung, sehingga setiap peristiwa tampak jelas tanpa penutup, dan bisa dipahami benar karena semua sudah terbuka, orang tidak perlu merasa ragu-ragu, takut, dan cemas. Maka dengan kemampuan menyingkap segala tabir kehidupan, akan tersingkap semua rahasia. Orang tidak menjadi takut, bahkan justru dapat membuat macam-macam rencana untuk masa depan. Semua kesulitan dan hambatan bisa diatasi, sehingga perencanaan dan pelaksanaan kerja bisa diselesaikan menurut jadwal semula.
Awas itu juga mengandung pengertian waspada dan bijaksana. Waspada itu tajam penglihatan, antisipatoris, bahkan menembuas penglihatan ke depan, tahu sebelum terjadinya sesuatu.
Bijaksana itu mengandung pengertia pandai, cakap, mahir, bijaksana, mahir, ahli, berpengalaman, cerdik banyak akal, sehingga pribadi yang bersangkutan memiliki kewibawaan untuk memimpin.
5)        Waspada purba wisesa (waspada dan berkuasa)
Waspada itu mempunyai ketajaman penglihatan dan juga mampu menembus penglihatan ke depan, mampu mengadakan forecasting atau meramal bagi masa mendatang, atau bersifat futuristik. Sedang ”murba” atau ”purba” itu artinya mampu mencipta atau mampu mengendalikan menguasai.
Wasesa ialah keunggulan, kelebihan, kekuasaan berdasarkan kewibawaan, atau kewibawaan yang disertai kekuasaan. Jadi purba wasesa ialah mampu menciptakan dan mengendalikan semua kelebihan/keunggulan dan kekuasaan.
6)        Ambeg paramarta
Ambeg itu artinya mempunyai sifat-sifat. Paramarta (sansekerta : paramartha) artinya yang benar, yang hakiki. Maka ambeg paramartha itu artinya murah, karim, dermawan, mulia, murni, baik hati. Biasanya ”paramartha” selalu disertai dengan ”adil” jadi ambeg adil-paramartha berarti : bersikap adil, mampu membedakan yang penting dan yang tidak penting, sehingga mendahulukan hal-hal yang perlu dan penting, dan menomorduakan peristiwa-peristiwa yang remeh dan tidak penting. Jadi, pemimpin itu harus cakap menyusun satu sistem hierarki, agar selalu dapat memeriksa (haniti priksa), serta menata segala usaha dan prilaku. Ringkasnya, dia mampu dengan tepat memilih mana yang harus didahulukan, dan mana yang harus diusulkan kemudian serta selalu bersikap adil.
7)        Ambeg prasaja (bersifat sederhana)
Ambeg prasaja pada diri pemimpin itu berarti dia bersifat sederhana, terus terang, blak-blakan, tulus, lurus, ikhlas, benar, dan toleran. Sikapnya bersahaja/tunggal, hidupnya juga tidak berlebih-lebihan, tetap sederhana, dan tidak tamak.

8)        Ambeg Satya (setia)
Amberg satya itu ialah bersifat setia, menepati janji, dan selalu memenuhi segala ucapannya. Pemimpin sedemikian ini dapat dipercaya sebab dia jujur-lurus-tulus dan setia, cermat, tepat, dan loyal terhadap kelompoknya. Dia senantiasa berusaha agar hidupnya berguna, dan bisa membuat senang serta bahagia orang lain, terutama bawahan atau anak buahnya.
9)        Gemi Nastiti ( hemat dan teliti-cermat)
Pemimpin yang baik itu sifatnya hemat cermat, dan berhati-hati, tidak boros. Hemat karena ia mampu melaksanakan semua pekerjaan dengan efektif dan efisien. Hemat pula dalam mengelola sumber tenaga manusia, material, dan harta per,odalan, dan menyingkiri semua tingkah laku yang tidak memberi manfaat.
Cermat itu dalam bahasa Jawanya ialah nastiti, yaitu meneliti dengan sangat hati-hati segala karya, perbuatan, dan peristiwa di sekitarnya. Sedang berhati-hati artinya : pemimpin itu selalu bernalar, cermat, dan teliti. Selalu menggunakan duga prayoga, yaitu pandai menduga-duga apakah yang paling prayoga/baik pada suatu saat. Lalu menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan mara bahaya dan kesengsaraan. Dia sadar dan mampu membatasi penggunaaan dan pengeluaran apa saja untuk keperluan yang benar-benar penting.
10)    Blaka ( terbuka, jujur, lurus)
Pimpinan yang baik harus bersikap terbuka, komunikatif. Dia bersedia memberikan kesempatan kepada bawahan dan orang lain untuk mengemukakan sugesti usul, pendapat, kritik yang konstruktif, dan koreksi. Dia tidak merasa terlalu bodoh atau malu hati untuk belajar dari lingkungan dan bawahannya sendiri sekalipun. Sebab, belajar dari pengalaman orang lain itu merupakan pemerkayaan pribadinya. Ringkasnya, personnya merupakan satu sistem yang terbuka.
11)    Legawa (tulus ikhlas)
Legawa artinya rela dan tulus ikhlas, setiap saat dia bersedia untuk memberikan pengorbanan. Sifat orangnya ialah pemurah (murah hati), karim, dan dermawan. Dia mudah merasa senang bahagia dengan kesukaan yang kecil-kecil, dan tidak mabuk oleh kesukaan yang besar-besar. Karena itu sifatnya prasaja/sederhana dan tulus rela. Jika terjadi kekecewaan dan kegagalan, maka dia bisa ”mupus” atau menghibur diri, dan pasrah menyerah dengan hati yang murni kemudia bangkit kembali, berusaha membangun dan berkarya lagi.

F.       Sumber Kepemimpinan Pancasila 
Ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
1.        Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
2.        Nilai-nilai kepemimpinan universal
3.        Nilai-nilai spiritual nenek moyang.
Hal-hal yang dapat dianggap sebagai sumber kepemimpinan Pancasila antara lain berupa :
a.    Nilai-nilai positif dari modernisme
b.    Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang ditulis oleh para nenek moyang.
c.    Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku ”manusia utuh” yang mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masing-masing.

G.      Landasan Kepemimpinan Pancasila
Selanjutnya, pada tingkat, jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus mempunyai landasan pokok berupa nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Keempat macam landasan pokok kepemimpinan itu ialah :
1.      Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran almarhum Dr. R. Sosrokartono ):
a)      Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda)
b)      Nglurung tanpa bala (melurug tanpa balatentara)
c)      Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
d)     Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan)
2.      Landasan Kepemimpinan
a)      Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya.
b)      Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest-interest, dapat melihat jauh ke depan/waskita
c)      Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka
d)     Sifat guru : memberikan teladan baik.
3.      Landasan Pengabdian (Sri Mangkunegara 1)
a)      Ruwangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara)
b)      Wajib melu angrungkebi (wajib ikut bela negara)
c)      Mulat Sarira hangrasa wani (mawas diri untuk bersikap berani)


BAB III
KEPEMIMPINAN PANCASILA DALAM PERSPEKTIF PEMIMPIN YANG ADA DI INDONESIA


Kepemimpinan pancasila, teori ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan itu harus didasarkan pada nilai-nilai pancasila seperti yang dijelaskan oleh lima sila yang ada pada idiologi negara ini. Kepemimpinan pancasila menurut Drs. Sukarna dalam bukunya yang berjudul “kepemimpinan dalam administrasi Negara” adalah kepemimpinan yang Thesis (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa), kepemimpinan yang humanis (memiliki rasa kemanusian), kepemimpinan yang demokratis, kepemimpinan yang runitaris (mempersatukan) dan kepemimpinan yang sosial justice ( kepemimpinan yang berkeadilan).
Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan sebagai berikut:

1.        Kepemimpinan Thesis atau yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa
Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajaran agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin yang seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah diterapkan karena merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya Islam dengan gaya nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh panutannya yaitu Jesust Crist, serta Hindu dan Budha dengan Dewa yang mereka yakini sebagai tokoh panutan dalam bertindak.

2.        Kepemimpinan yang humanis
Kepemimpinan model ini berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nilai-niali kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika sosial yang kuat dan menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata, namun adil sesuai dengan hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari para pemimpin model ini.

3.        Kepemimpinan yang unitaris atau nasionalis
Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 ini yaitu persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi dari setiap inividu ditujukan kepada kepribadian bangsa. Ada 4 fungsi nasionalisme bagi kepemimpinan administratif menurut Drs. Sukarna, yaitu:
a.       Mempersatukan seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan bangsa Indonesia
b.      Mengeliminasi dominasi asing, ataupun yang bersifat asing dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya
c.       Mempertahankan kepribadian bangsa indonsia di tengah-tengah percaturan global
d.      Mengusahakan gengsi dan pengaruh dalam dunia internasional
Kepemimpinan yang menyatukan yang menjadikan perbedaan itu ke suatu arah tujuan bersama itulah ide utama dari kepemimpinan tipe ini, dengan perbedaan yang ada kita tetap teguh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan acaman dari luar. Esensinya bahwa rasa cinta pada negeri yang rasional dan kemampuan untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam masyarakatnya. Kepemimpinan tipe ini harus bebas dari primordial yang sempit, harus mempunyai wawasan nusantara yang mendalam, agar tidak terpengaruhi oleh iming-iming asing yang menggoda sesaat.

4.        Kepemimpinan demokratik
Kepemimpinan administratif yang mengacu pada sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis pancasila. Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang demokratis pancasila ini menurut Drs. Sukarna adalah sebagai berikut:
a.       Kepemimpinan administartif tunduk dan taat kepada kehendak serta aspirasi-aspirasi rakyat di dalam segala bidang baik yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
b.      Kepemimpinan administratif selalu melaksanakan amanat rakyat yang tertuang dalam falsafah hidupnya sendiri, UUD dan aturan lain yang ada dibawahnya yang merupakan aspirasi dan suara rakyat
c.       Kepemimpinan demokratik selalu menjunjung tinggi falsafah”ambeg paramarta” yaitu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, buka ororiter atau tirani
d.      Kepemimpinan demokratik harus menjunjung tinggi penegakan hukum, karena negara kita adalah negara hukum
e.       Kepemimpinan administratif mempunyai kewajiban untuk menegakan HAM 
f.       Kepemipinan yang demokratik pada dasarnya tidak memusatkan kekuasaan pada satu tangan, namun meyerahkannya kepada pembagian yang proporsional.

5.        Kepemimpinan social justice
Kepemimpinan yang didasarkan pada sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Kepemimpinan berkeadilan itulah konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini bukan sama rata dan sama rasa, namu lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan kewajibannya, harus proporsional, oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan ini perlu strategi yang tepat untuk mengasah kemampuan membuat suatu kebijaksanaan yang benar-benar bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini harus pandai membaca situasi, harus pandai mencari kearifan dan menemukan hal-hal yang tidak pernah dikemukakan orang lain yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat. Ada beberapa ciri-ciri kepemimpinan yang berkeadilan (Sukarna, 2006,75), yaitu:
a.         Kepemimpinan selalu mendahulukan kepentingan orang yang mengikutinya atau kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok;
b.        Tidak bersifat nepotisme atau mendahulukan orang-orang terdekat dalam setiap pengambilan;
c.         Mampu menegakkan keadilan;
d.        Tidak mungkin mewujudkan keadilan sosial jika dalam suatu negara atau suatu organisasi yang pemimpinnya menganut paham otoriterisme, karena dalam konsep otoriterisme tidak meengenal keadilan model ini;
e.         Menempatkan pengikutnya diatas segalanya, karena dia sebagai pelayan pengikutnya.



BAB IV
KESIMPULAN


Masyarakat indonesia adalah masyarakat majemuk, yang memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam polotik dan ekonomi. Karena hal itu, kerap menimbulakan pola pikir yang mementingkan kelompok atau primordialisme.
Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat Indonesia secara umum, masih sulit mengadakan penyesuaian terhadap hadirnya nilai-nilai baru. Oleh karena itu, diperlukan sosok kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan keragaman tersebut dan dapat memadukan atau menggali inspirasi dari nilai-nilai luhur Nusantara dan nilai-nilai kamajuan universal, yang disebut dengan Kepemimpinan Pancasila.
Kepemimpinan yang berjiwa pancasila adalah pemimpin dambaan semua masyarakat indonesia. Pemimpin yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat atau kepentingan bersama dari pada kepentingan lain atau kepentingan pribadi. Pimpinanlah yang merupakan motor pergerakan dari suatu usaha atau kegitan, juga dalam pengambilan keputusan, dan kebijakan yang dapat mempermudah pencapaian tujuan dari organisasi itu secara efktif dan efisien. Kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan yang dapat memancarkan watak pribadi dan sikap untuk membina berkembangnya rasa persatuan, kebersaman dan sikap untuk membina berkembangnya rasa persatuan, kebersamaan , keselarasan, keseimbangan dan keserasian hidup.

Arti Kepemimpinan Pancasila adalah Kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Keyakinan pemimpin pancasila :
1. Semangat Nasionalisme
2. Semangat Kekeluargaan
3. Semangat Gotong Royong
4. Pembangunan Isi Kemerdekaan
5. Pembangunan Falsafah Negara Pancasila
6. Pembangunan Amalan Pancasila
7. Pembangunan Fungsi Manajemen
8. Pembangunan Memadu Budaya Tradisi dan Modernisasi
9. Pembangunan Berazas Persatuan, Kebersamaan, Kesatuan

Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola pikir modern dengan dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada :
1.    Azas Kebersamaan;
2.    Azas Kekeluargaan dan Kegotong-royongan
3.    Azas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan;
4.    Azas Selaras, Serasi dan Seimbang;

Ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
1.    Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
2.    Nilai-nilai kepemimpinan universal
3.    Nilai-nilai spiritual nenek moyang.

2 komentar:

  1. sangat membantu apalagi jika disertakan dengan referesinya

    BalasHapus
  2. sangat membantu apalagi jika disertakan dengan referesinya

    BalasHapus